Fahrenheit 451 oleh Ray Bradbury
Judul:
Fahrenheit 451
Judul
Asli: Fahrenheit 451
Penulis:
Ray Bradbury
Alih
Bahasa: Celcilia Rose
Penerbit:
PT Elex Media Komputindo
ISBN:
978-602-02-1320-0
Tebal:
234 hlm
Tahun
terbit: Juni 2013
Cetakan:
Pertama
Genre: Distopia,
Satire, Fiksi Sosial
Rating:
4/5
“There
are worse crimes than burning books. One of them is not reading them.” (Ray Bradbury Quote)
Apa yang membuat sebuah buku
begitu berharga hingga seseorang rela mati bersamanya? Dan apa yang membuat sebuah
buku begitu berbahaya pula hingga seseorang harus melenyapkannya? Jawabannya
hanya satu; efek dari isinya. Bukankah telah banyak dituliskan oleh sejarah
bahwa buku mampu memengaruhi pemikiran dan pendapat seseorang? Bahwa buku bisa
mengubah seorang penjahat menjadi seorang alim. Dan bahwa buku pun sanggup
menggerakkan segelintir orang untuk memberontak, menghakimi, bahkan membunuh.
Dengan alasan yang hampir sama, tokoh kita ini, Guy Montag, yang adalah seorang
pemadam kebakaran, membakar begitu banyak buku bersama rekan-rekannya.
Pasti ada sesuatu di dalam
buku-buku tersebut, sesuatu yang tidak bisa kita bayangkan, yang membuat
seorang wanita tetap tinggal di dalam sebuah rumah yang terbakar; pasti ada
sesuatu di sana. Kau tidak mungkin tinggal kalau tak ada apa-apa. (halaman 61)
Di masanya, tugas pemadam
kebakaran bukanlah memadamkan api, melainkan membakar rumah yang di dalamnya
tersimpan buku-buku. Konstitusi melarang buku-buku beredar di negaranya.
Menurut Konstitusi, buku-buku itu hanya akan membuat orang-orang terbuai, hidup
dalam khayalan, mengganggu pikiran dan tidak bahagia. Petugas pemadam kebakaran
berfungsi untuk menjaga kedamaian pikiran setiap orang. Sebagai gantinya, tiap
rumah diberi ‘kotak’ hidup tiga dimensi alias layar canggih yang menampilkan
banyak hiburan dan informasi, yang tentu saja content-nya sudah ditentukan oleh
Konstitusi. Orang-orang tidak perlu berpikir. Mereka hanya perlu mengikuti
aturan Konstitusi dan ‘bahagia’.
Lantas apa itu Fahrenheit 451?
Itu adalah temperatur yang mampu membakar kertas buku dan menghanguskannya,
yaitu 451°Fahrenheit. Angka 451 itu sendiri tertulis di setiap helm petugas
pemadam kebakaran. Montag sangat menikmati pembakaran buku-buku sejak bekerja
selama 10 tahun, hingga suatu malam, ia bertemu dengan seorang gadis bernama
Clarisse. Gadis itu menceritakan kisah-kisah orang di masa lalu dan banyak hal
yang membuat Montag tak lagi sanggup menikmati pembakaran buku. Ia semakin
tidak bahagia dan berpikir ulang tentang pekerjaannya. Saat pekerjaannya memanggil,
ia bahkan secara diam-diam menyelipkan satu buku di bajunya. Hal itu telah
berlangsung cukup lama dan, suatu hari, Montag ketahuan oleh istrinya. Istrinya
melihat ada banyak buku yang sudah disimpan Montag. Sejak saat itu Montag sadar
bahwa ia harus melakukan sesuatu …. Sesuatu yang esktrem. Perjalanan kisah ini
membawa Montag bertemu banyak orang; Faber, para profesor, ilmuwan, ahli
sejarah, dan kematian orang-orang, juga … ‘anjing pemburu’!
“… Bahwa seseorang berada di
belakang masing-masing buku. Orang tersebut harus memikirkan semuanya. Orang
itu membutuhkan waktu lama untuk menorehkannya di atas kertas.
Beberapa orang membutuhkan
mungkin seumur-hidupnya untuk menuliskan pemikirannya, mencari ke seluruh dunia
dan kehidupan ….” (halaman 62)
“Para penulis yang baik sering
kali menyentuh kehidupan. Mereka yang biasa-biasa saja hanya menyentuhnya
sesekali. Sedangkan yang buruk justru mengacak-acak dan meninggalkannya untuk
lalat.” (halaman 102)
Mendapatkan buku ini secara tak
terduga—dan cuma tinggal satu-satunya—terselip di salah satu rak paling bawah
sebuah toko buku membuat saya hampir saja kehilangan rasa malu. Saya hampir
melompat jejingkrakan saking senangnya karena sudah sejak lama saya
mencari-cari buku ini. Saat mendapatkannya, saya berharap kalau buku ini sesuai
dengan ekspektasi saya. Dan ternyata, Fahrenheit 451 memang sesuai dengan
ekspektasi saya. Sebuah buku yang unik dan ditulis oleh seseorang yang unik
pula.
Fahrenheit 451 ditulis pertama
kali oleh Ray Bradbury pada tahun 1950 dan dipublikasikan di majalah Galaxy
secara berkala dengan jumlah total 25.000 kata berjudul The Fireman. Kemudian
di tahun 1953, novel ini dipublikasikan oleh Ballantine dalam edisi buku
lengkap dengan tambahan 25.000 kata lagi dan diberi judul Fahrenheit 451. Jika Anda
membaca kisah perjalanan Bradbury dalam menyelesaikan naskah ini, Anda mungkin
juga akan terkejut seperti saya. Ia menulisnya menggunakan mesin tik di salah
satu ruang bawah tanah perpustakaan Universitas California, Los Angeles, dengan
biaya sewa sepuluh sen per setengah jam. Dalam waktu sembilan hari, naskah
tersebut pun selesai.
Mengambil latar kehidupan sosial
orang-orang Amerika di masa depan, di mana buku-buku dibakar dan dimusnahkan,
Bradbury lewat Fahrenheit 451 sebenarnya ingin mencoba untuk melakukan kritik
sosial pada masa itu. Pada tahun 1950 sampai 1956, Amerika Serikat mengalami
sebuah periode yang dikenal dengan nama era McCarthy. Selama era McCarthy,
ribuan orang Amerika dituduh sebagai komunis atau simpatisan komunis dan
menjadi subyek penyelidikan dan interogasi yang tidak adil, bahkan banyak yang
dituduh dan dihukum tanpa bukti yang valid. Pada masa itu, banyak perpustakaan
yang diperintahkan untuk membakar buku-buku yang dilarang beredar, terutama
yang ditulis oleh tokoh-tokoh kontroversial, komunis, atau para pelancong.
Mungkin kondisi saat itu ada sedikit kemiripan dengan era pembersihan PKI di
Indonesia, ya? Dengan kata lain, Fahrenheit 451 secara tak langsung mencoba
mengkritisi kaum totalitarian pada masa itu.
Fahrenheit 451 sering dibandingkan
dengan 1984-nya Orwell karena sama-sama mengambil setting waktu masa depan
dengan genre distopia. Yang membedakan kedua novel ini adalah isu yang
dikritisi. Apa yang dituliskan Bradbury lebih kepada tanggapan atas situasi
sosial dan pendidikan, bukan politik; bagaimana dampak TV dan radio, bagaimana
di sekolah-sekolah kini tidak lagi ada pelajaran membaca, bagaimana orang-orang
mulai tidak membutuhkan buku, dan sebagainya. Sedangkan Orwell lebih menanggapi
situasi politik, yaitu bagaimana kekecewaannya pada komunisme di masa itu.
Judul Fahrenheit 451 sebenarnya
merujuk pada temperatur yang dipahami oleh Bradbury sebagai titik nyala
otomatis untuk kertas, yang berkisar antara 424–475°Fahrenheit. Tak hanya
mengangkat tema yang luar biasa, novel ini juga diperkaya dengan narasi dan
diksi yang indah. Bradbury sangat piawai menyusun kata demi kata menjadi
sesuatu yang memesona. Saya suka sekali cara penceritaan dan pemilihan katanya.
Yah, meskipun sejujurnya saya tidak sepenuhnya mengerti makna dari semua itu,
tapi membacanya saja seakan mendengar sesuatu yang indah di telinga. Ada banyak
perumpamaan, gaya bahasa, bahkan semacam gaya penulisan puisi—saya tidak tahu
apa istilahnya—dengan pengulangan yang unik. Contohnya buku yang terbuka
diumpamakan sebagai merpati putih yang mengepakkan sayap, atau selang gas
pemadam kebakaran diumpamakan sebagai ular, dan lain-lain. Salah satu contoh
paragraf yang mirip puisi, seperti yang saya katakan sebelumnya, adalah
pengulangan kata seperti ini:
Pesawat jet pengebom melintas,
melintas, melintas, satu dua, satu dua, satu dua, enam dari mereka, sembilan
dari mereka, dua belas dari mereka, satu dan satu dan satu dan lagi dan lagi
dan lagi, semua berteriak untuknya. (halaman 16)
atau,
Setetes hujan. Clarisse. Tetesan lain.
Mildred. Ketiga. Sang paman. Keempat. Api malam ini. Satu, Clarisse. Dua,
Mildred. Tiga, paman. Empat, api. Satu, Mildred, dua, Clarisse. Satu, dua,
tiga, empat, lima, Clarisse, Mildred, paman, api, pil tidur, tisu sekali pakai,
kerah baju, embus, remas, buang, Clarisse, Mildred, paman, api, pil, tisu,
embus, remas, buang. Satu, dua tiga, satu, dua, tiga! Hujan. Badai. Tawa sang
paman. Petir di lantai bawah. Seluruh dunia kehujanan. (halaman 20-21)
Unik, bukan? Mungkin karena kaya
akan diksi, perumpamaan, dan gaya bahasa makanya novel ini dimasukkan ke dalam
pelajaran di sekolah-sekolah di Amerika Serikat, ya? Sama seperti halnya 1984
Orwell yang juga kaya akan kosakata dan budaya bahasa Inggris newspeak dan
oldspeak.
Fahrenheit 451 telah memenangkan
banyak penghargaan seperti American Academy of Arts and Letters Award dan
medali emas Commonwealth Club of California (1954), Prometheus “Hall of Fame”
Award (1984), serta 1954 “Retro” Hugo Award (2004). Novel ini juga telah
diadaptasi ke film layar lebar di tahun 1966 oleh François Truffaut. Film di
tahun 1966 ini tidak sepenuhnya mengikuti novel. Ada tokoh dan karakter penting
yang tidak dimasukkan dan jalan ceritanya juga agak sedikit berbeda sehingga
tercetuslah rencana untuk membuat versi baru yang lebih baik di tahun 2000-an
oleh Mel Gibson sebagai produser dan Frank Darabont sebagai sutradaranya. Namun
sayangnya, versi baru ini sampai sekarang masih dalam status yang tidak jelas
dan belum dirilis sama sekali, padahal di Youtube ada trailernya (buatan para
fans, mungkin?). Saya jadi penasaran, kapan ya akan diselesaikan?
Novel Fahrenheit 451 menyadarkan
kita bahwa betapa pentingnya transfer ilmu pengetahuan dari generasi ke
generasi, salah satunya lewat buku. Buku adalah jendela dunia; benar. Buku
adalah pintu masa depan; benar. Tanpa buku, bagaimana caranya kita mengetahui
sejarah masa lampau dan isi kepala orang-orang terdahulu? Buku adalah pintu
gerbang masa lalu, masa kini dan masa depan.
Efek dari isi buku yang dibaca
seseorang berbeda-beda satu sama lainnya. Bagaimana persepsi seseorang dalam
mengambil hikmah dan isi sebuah buku belum tentu sama dengan orang lain. Di
sinilah yang menjadi perbedaan mendasarnya: persepsi. Karena persepsi, buku A
memberi efek yang baik untuk si B, tapi bisa jadi memberikan efek yang buruk
bagi si C. Dan bagi saya pribadi, saya agak sedikit setuju dengan satu
pemikiran Kapten Beatty, bahwa diperlukan suatu pelarangan tertentu untuk
melindungi pikiran-pikiran kita dari buku yang buruk. Ingat, buku yang buruk,
bukan seluruh buku.
Saya sendiri tidak ingin pikiran
saya tercemar oleh pemikiran-pemikiran yang tidak baik, yang nantinya akan
menjebloskan saya pada keburukan. Dan sekarang sudah banyak terjadi di
sekolah-sekolah di mana buku-buku pelajaran yang beredar mengandung konten yang
tidak laik baca oleh pelajar. Bukankah pelarangan atas buku-buku ini sebuah
kewajaran? Hanya saja, pelarangan yang saya maksud tidaklah seekstrem
pelarangan buku yang terjadi di buku ini atau di beberapa negara. Namun secara
individu, saya pribadi merasa berhak untuk menentukan buku mana yang patut saya
baca dan mana yang perlu saya larang masuk ke pikiran saya. Meskipun dalam satu
dua kasus di masa hidup kita, membaca satu dua buku yang berisi pemikiran yang
‘salah’ menurut prinsip saya sebenarnya juga tidak terlalu buruk untuk
mengetahui dan mengasah kemampuan kita membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Setidaknya berguna sebagai counter, sehingga ketika seseorang mencoba
memengaruhi pemikiran kita dengan sesuatu yang buruk itu, kita sudah memiliki
bekal dasar untuk menyaringnya. Dan yang terpenting, buku hadir untuk dibaca.
Tanpa dibaca, bagaimana sebuah ilmu akan sampai ke masyarakat? Seperti
kata-kata Ray Bradbury yang cukup tersohor, bahwa ada kejahatan yang lebih
buruk dari membakar buku, dan salah satunya dengan tidak membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar