UNTUK MISS ENI
UNTUK MISS ENI
KENANGAN SEJARAH (HISTORICAL MOMENTS)
SOFTSKILL ASSIGNMENT

Kata Pengantar
Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat-Nya , sehingga makalah mengenai “kenangan
sejarah (historical moment)” ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih
kepada pihak dari Museum Fatahillah atas penjelasan dan bimbingannya mengenai
seluruh urutan rangkaian yang terdapat dalam Museum Fatahillah mulai peristiwa,
benda-benda peninggalan, sampai pada ruang tahanan.
Perlu disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran dan kritik sangatlah dibutuhkan pada makalah ini.
Jakarta, 10 April 2015
Yosia Grahna
MUSEUM FATAHILLAH
Okee, bagi anda yang belum pernah berkunjung ke Museum Fatahillah, pastinya anda penasaran dengan apa saja yang terdapat di museum tersebut. Nah, jika anda belum mengunjunginya, maka saya sebagai pengamat sejarah akan menjelaskannya secara rinci dan detail mengenai apa saja yang terdapat dalam museum tersebut. Museum tersebut menjelaskan mengenai perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang tertindas dan menderita dalam masa pemerintahan Belanda selama 350 tahun atau dapat dikatakan 3,5 abad, serta upaya bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda di beberapa daerah. Namun, Museum Fatahillah dulunya adalah gedung atau bangunan Belanda di mana para pemerintah Belanda serta para gubernurnya bersemayam dan juga merupakan tempat penjara dan eksekusi bagi para pemberontak, yaitu rakyat Indonesia.
1.Dimulai dengan perlawanan Sultan Agung di Mataram dalam melawan VOC.
Kerajaan Mataram mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Daerah kekuasaannya hampir meliputi seluruh pulau Jawa. Hanya Jawa Barat yang belum termasuk wilayah Mataram. Pada mulanya hubungan antara VOC dengan Mataram berjalan dengan baik. dibuktikan dengan VOC diperbolehkan berdagang di wilayah Mataram tanpa dikenakan pajak. Namun, akhirnya VOC menunjukkan sikap yang tidak baik, yakni ingin memonopoli perdagangan di Jepara.Tuntutan tersebut ditolak oleh Bupati Kendal, yaitu Baurekso, yang bertanggung jawab atas wilayah Jepara.
Namun penolakan tersebut tidak menyurutkan semangat VOC dan mereka pun melanjutkan keinginannya untuk berdagang. Hal ini membuat rakyat Mataram marah dan kantor VOC pun diserang. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen membalasnya dengan menyuruh pasukannya menembaki wilayah Jepara. menyikapi hal tersebut, Sultan Agung pun bertekad untuk menyerang kota Batavia. Penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Agung pun dilakukan sebanyak dua kali. Namun hal itu tidak cukup hebat untuk menaklukan Batavia dan pasukannya, karena disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Gambaran kota Jakarta di akhir abad 18 dapat diketahui dari peta Van Der Parra, sebuah peta yang menggambarkan situasi pada tahun 1770. Pada peta itu dibangun kota berbentuk segi empat yang dibelah dua oleh Sungai Ciliwung menjadi bagian Timur dan Barat. Di ujung dermaga terlihat benteng air (waterkastil ) yang dibangun tahun 1741 oleh gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Kastil batavia merupakan batas utara kota bagian timur berbentuk segi empat yang dilengkapi bastion sudut yaitu Parel, Diamant, Saphier, dan Robijin. Sekarang, letak kastil Batavia ada di ujung utara jalan Tongkol, yaitu antara Ciliwung dan kali Krukut.

Pusat kota yang luasnya 65 hektar itu dikelilingi tembok pertahanan yang dilengkapi 22 buah bastion dari batu karang. Gerbang kota ada 4 buah, yaitu gerbang Roterdam di sisi timur, gerbang Utrecht di barat dan dua gerbang lainnya. Nieuwpoort dan Diestpoort di sisi selatan. Setiap gerbang dijaga 20 serdadu dengan dipimpin seorang kapten.
3. Perkembangan Penduduk pada abad ke 16-18
Demikian yang dapat saya sampaikan dari
penjelasan mengenai rangkuman sejarah ini, perlu diketahui bahwa masih banyak
sekali kesalahan maupun kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, karena
kurangnya ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas, saya mohon maaf apabila ada
kata-kata yang kurang berkenan. Akhir kata dari saya ucapkan
- Terlalu lelah karena jarak Mataram (sekarang: Yogyakarta) dan Batavia (sekarang: Jakarta) sangat jauh
- Kekurangan persediaan bahan makanan sehingga menyebabkan kelaparan
- Kalah dalam persenjataan
- Banyak yang meninggal akibat penyakit malaria
Gambaran kota Jakarta di akhir abad 18 dapat diketahui dari peta Van Der Parra, sebuah peta yang menggambarkan situasi pada tahun 1770. Pada peta itu dibangun kota berbentuk segi empat yang dibelah dua oleh Sungai Ciliwung menjadi bagian Timur dan Barat. Di ujung dermaga terlihat benteng air (waterkastil ) yang dibangun tahun 1741 oleh gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Kastil batavia merupakan batas utara kota bagian timur berbentuk segi empat yang dilengkapi bastion sudut yaitu Parel, Diamant, Saphier, dan Robijin. Sekarang, letak kastil Batavia ada di ujung utara jalan Tongkol, yaitu antara Ciliwung dan kali Krukut.

Pusat kota yang luasnya 65 hektar itu dikelilingi tembok pertahanan yang dilengkapi 22 buah bastion dari batu karang. Gerbang kota ada 4 buah, yaitu gerbang Roterdam di sisi timur, gerbang Utrecht di barat dan dua gerbang lainnya. Nieuwpoort dan Diestpoort di sisi selatan. Setiap gerbang dijaga 20 serdadu dengan dipimpin seorang kapten.
Menurut Leonard Blusse, panjang kota 2,250 meter dan lebarnya 1.500 meter. Batas utara kota bagian timur adalah kastil Batavia, sedangkan di selatan adalah Jalan Pasar Pagi. Sebaliknya Batas paling utara bagian kota barat diperkirakan sekitar Pasar Ikan dan Museum Bahari sedangkan batas paling selatan adalah jalan batu dan sebagian jalan mangga dua. Batas paling timur adalah sungai Ciliwung sedangkan jalan penjagalan raya diperkiralan batas di sebelah Barat.
Beberapa bangunan dalam kota peta itu saat ini dapat didentifikasi. Bangunan Stadhuis (balai kota) sekarang adalah gedung museum sejarah Jakarta, gereja Nieuw Hollandsche Kerk yang dibangun tahu 1736 sekarang menjadi Museum Wayang yang didirikan tahun 1912, gudang tepi barat (Westzijdsche Pakhuizen) yang ada di Bastion Cullenburg dan Zeeburg sekarang adalah museum Bahari. Demikian juga dengan Chinese Kwartier di luar kota sekarang adalah pasar Glodok.
3. Perkembangan Penduduk pada abad ke 16-18
Perubahan lingkungan perkotaan Batavia dari abad 16 – 18 M, menurut beberapa ahli dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain disebabkan oleh rekayasa lingkungan alam Batavia yang menggunakan teknologi Eropa (Belanda), terutama sistem kanal dan parit yang difungsikan untuk mengeringkan lahan rawa, mencegah banjir, mempertinggi permukaan lahan, serta sebagai sarana pertahanan dan transportasi. Faktor eksternal lebih banyak disebakan oleh akibat ikutan yang timbul dari faktor internal. Kota yang semula berfungsi sebagai pusat pemerintahan serta perdagangan lokal dan regional berkembang menjadi pusat perdagangan internasional, perbentengan dan pusat pemerintahan kolonial. Perubahan fungsi tersebut menyebabkan Batavia menjadi lebih terbuka terhadap imigran luar dan asing, sehingga menimbulkan pertambahan jumlah penduduk yang pada akhirnya juga mendorong perluasan areal kota. Penduduk kota menjadi lebih heterogen dan muncul kelompok-kelompok etnis yang berbeda sosio kulturalnya, yang pada akhirnya memunculkan nilai-nilai baru di Batavia (Haris, 2007).
Tidak ada data resmi dan akurat mengenai jumlah penduduk Kota Batavia pada abad 18 M. F. de Haan memperkirakan jumlah penduduk Kota Batavia pada tahun 1700 sampai 1730 adalah antara 30.000 – 35.000 jiwa dengan jumlah 10.000 – 15.000 jiwa di antaranya tingal di luar benteng. Sedangkan Valentijn melaporkan bahwa penduduk Kota Batavia pada tahun 1722 sekitar 100.000 jiwa yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa (Haris, 2007).
Tidak ada data resmi dan akurat mengenai jumlah penduduk Kota Batavia pada abad 18 M. F. de Haan memperkirakan jumlah penduduk Kota Batavia pada tahun 1700 sampai 1730 adalah antara 30.000 – 35.000 jiwa dengan jumlah 10.000 – 15.000 jiwa di antaranya tingal di luar benteng. Sedangkan Valentijn melaporkan bahwa penduduk Kota Batavia pada tahun 1722 sekitar 100.000 jiwa yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa (Haris, 2007).
Seperti lazimnya masyarakat perkotaan, kelompok-kelompok masyarakat di Kota Batavia menempati daerah-daerah kelompoknya sendiri dan terpisah dengan kelompok etnis lain. Jejak kehidupan sosial masa itu masih dapat dilihat melalui sejumlah nama daerah (toponim) di Jakarta yang menggunakan nama-nama suku bangsa atau kelompok etnis. Data kompeni tahun 1779 menyebut jumlah penduduk Batavia sebanyak 172.682 jiwa. Data pada tahun tersebut menggambarkan 89% penduduk tinggal di luar benteng, dan dari 89% tersebut, 59% di antaranya tinggal di bagian depan sebelah barat kota. Data itu juga menggambarkan bahwa pada abad 18, permukiman penduduk terutama berkembang ke arah barat kota. Adapun penduduk Batavia pada abad 18 M terbagi dalam enam kelompok besar yang terdiri dari orang Eropa, Mestizo atau Eurasia (indo), Timur Asing (Cina), Mardiker, dan orang pribumi.
Orang Belanda tidak menempati lokasi khusus untuk tempat tinggalnya. Mereka dapat tinggal dimana saja, di dalam atau pun di luar benteng, meskipun gambaran dari data abad 18 M memperlihatkan bahwa orang Belanda di luarkota lebih banyak bertempat tinggal di depan kota sebelah timur dan selatan. Orang Mestizo dan Eurasia banyak bertempat tinggal di dalam kota sisi timur dan di timur bagian depan kota. Setelah peristiwa kerusuhan tahun 1740, orang-orang Cina dilarang tinggal di dalam kota Batavia. Pada tahun 1766, untuk pertama kalinya diangkat Kapiten dari golongan Cina peranakan. Nama kapiten tersebut menggunakan nama pribumi. Meskipun begitu, orang Cina peranakan tetap tinggal terpisah, menyebar di sejumlah kampung dan beribadat menggunakan rumah ibadat atau masjid di kampung tempat mereka tinggal. Baru pada tahun 1786, orang Cina peranakan membangun masjid di atas tanah milik Kapiten mereka, di sebelah timur Molenvliet. Saat ini masjid Cina peranakan tersebut dikenal sebagai Masjid Kebun Jeruk (Haris, 2007).
Masuk dalam kelompok timur asing lainnya adalah orang Moor. Sebutan Moor pada awalnya digunakan untuk menyebut orang-orang Islam dari Kalingga, Koromandel, India. Tapi de Haan juga menggunakan sebutan ini untuk menyebut orang-orang Islam dari daerah lain seperti Gujarat, Benggala, Parsi, dan orang-orang Arab. Mereka umumnya adalah pedagang tekstil (Haris, 2007).
Dalam kelompok orang pribumi, etnis Jawa memiliki jumlah terbesar. Mereka bertempat tinggal di luar benteng, di sekitar Kali Krukut, dan di sebelah utara kota bagian barat. Orang Bali juga memiliki jumlah yang besar, mereka bertempat tinggal di sejumlah kampung di luar kota, yaitu Kampung Krukut, Kampung Angke, dan Kampung Pisangan Batu, yang menurut de Haan telah ada sejak tahun 1687. Satu kampung baru untuk orang Bali adalah Kampung Gusti yang dibangun pada tahun 1709 (Haris, 2007). Menurut data tahun 1779, Etnis Banda bertempat di luar benteng kota, terutama di depan kota bagian barat dan timur. Pada tahun 1715, diberitakan adanya satu masjid di luar pintu gerbang Roterdam (timur bagian depan kota) sebagai tempat ibadah orang Banda yang memeluk agama Islam (Haris, 2007).
Meskipun faktor ras, etnis, dan profesi dominan dalam pengelompokan penduduk dan masyarakat kota pada masa VOC, faktor agama pun ikut berperan, baik dalam pengelompokan penduduk maupun alokasi pekerjaan. Batas-batas wilayah yang didasarkan pada perbedaan agama, tidak hanya tampak pada kehidupan sosial-ekonomi. Hak-hak warga masyarakat yang beragama Kristen, termasuk budak, dilebihkan, demikian juga dalam permukiman. Pada umumnya, banyak penduduk yang beragama Islam bermukim di sisi depan kota bagian barat, sedangkan orang Kristen bermukim atau dimukimkan di sisi depan kota bagian timur yang tercermin pada sejumlah peninggalan sejarah dan purbakala berupa gereja dan masjid. Dengan melihat gambaran heterogennya Batavia di masa lalu, tidak mengherankan jika kondisi tersebut tetap bertahan pada saat ini.
4. Pemetaan kota pada masa Adrian Valckeinier (1737-1741)
Pemetaan kota Batavia tahun 1740 dibuat oleh Johan Wolfgang Heydt (Jerman) yang bermukim di Batavia antara tahun 1738-1740. Gubernur Jenderal Valkenier menunjuknya sebagai juru gambar dan arsitek. Di peta tahun 1740 ini nampak kota Batavia dikelilingi 7 benteng kecil (pos penjagaan) Ancol dan Jacatra di sebelah timur, Noordwijk dan Rijswijk di sebelah selatan, Vijhoek, Angke, dan Buiten wacth (fluit) di sebelah barat. Jarak ke selatan dari pusat kota lebih kurang 4-5 km sedangkan jarak antara pos ancol (di sebelah timur) dengan angke (di sebelah barat) sekitar 8 km.
Dalam peta nampak bahwa lahan di luar tembok benteng, baik tepi barat maupun tepi timur sudah dihuni, sedangkan di sebelah selatan kota terlihat areal persawahan. Dari segi topografi, lahan sebelah selatan memang lebih tinggi dibanding sebelah barat atau timur, sehingga kondisi lahan seperti ini menjadi alasan mengapa pada masa kemudian perluasan dan pembangunan kota mengarah ke selatan, yaitu Weltevreden.
Pada masa itu juga nampak bahwa pusat kota
dihubungkan dengan benteng di luar kota melalui sejumlah kanal dan jalan. Dari
pusat kota ke arah timur terdapat jalan Barends (Barandsweg), kanal
Anthonie (Anthonievaart), kanal Ancol (Antjolvaart), kanal Sonter
(Sontharvaart), dan jalan Tuan (Heerenweg), ke arah
selatan melalui terusan Molen (Molenvliet),sedangkan ke arah barat
melalui terusan Mooker (Mookervaart), kanal Bacherachte (Bacherachtsgracht), dan
kanal Ammanus (Ammanusgracht).
Untuk mengendalikan banjir, saran lalu lintas menyalurkan hasil bumi dan hasil hutan dari hulu ke hilir, penggalian kanal-kanal luar kota berlanjut. Di kota depan digali kanal Crone (1663), dan kanal Speelman (1665), kanal Verburghs (1667), kanal Waynands dan kanal May. Parit atau kanal-kanal tersebut digali lurus sejajar jalan-jalan di kanan kirinya, saling berpotongan satu-sama lain sehingga membentuk blok-blok segiempat. Gubernur Jenderal Maetsuyker juga memusatkan perhatiannya pada pembangunan sekitar pelabuhan. Pelabuhan bebas (Vrijmanhaven) yang tadinya di dalam lingkunagn Boom (palang kayu atau pohon yang menutup mulut sungai) tahun 1667 dipindah ke luar Boom dengan mmperpanjang ujung saluran sampai ke sungai Ciliwung, tidak jauh di utara Boom Bersamaan dengan itu pula parit dekat Bastion Zeeburg dibendung dan saluran Vrijmanhaven diperpanjang ke barat sehingga terbentuk saluran kanal pelabuhan. Maetsuyker juga memerintahkan pembuatan jalan dari tepian laut menuju Maester Cornelis yang kemudian dirampungkan oleh penggantinya Rijkloff van Goens
6. Jakarta, Kota Tradisional sampai Kota Kolonial
Kota tradisional adalah kota-kota kuno pusat kerajaan-kerajaan islam yang belum dipengaruhi oleh budaya Eropa. Tata kotanya hampir sama, keraton ditempatkan di sebelah selatan alun-alun, di sebelah barat alun-alun terdapat mesjid, dan pasar di dekat keraton seperti halnya Pasar Paseban di Banten. Pola kota seperti ini meniru tata kota pusat kerajaan Majapahit sebagaimana direkonstruksi oleh Maclaine Pont berdasarkan kitab Negarakertagama. Penduduk kota bermukim dalam kluster-kluster yang terpisah.
Kota kolonial adalah kota-kota tipe Belanda yang berkembang abad ke 17-18 dan berpengaru pada banyak kota di Eropa. Rancangan kota Belanda saat itu mempunyai ciri khas, yaitu rayon-rayon kota dikelilingi oleh terusan (kanal) dan tembok keliling, sedangkan kanal-kanal dan jalan utama yang lebar seakan-akan merupakan tulang punggung kota.
Jan Pieterzoon Coen (1587 -1629) adalah seorang Guberniur Jenderal masa VOC (Verenigde Oostindische Compagnie / Serikat Kompeni Hindia Timur) yang memerintah pada tahun 1618-1623 dan 1627-1629. Ia memulai karirnya dengan VOC pada tahun 1607 ketika ia masih berusia 20 tahun dan pada tahun 1612 menjadi Presiden Kantor Dagang di Banten dan Jayakarta (Jacatra). Sebagai seorang pemuda yang ambisinya sangat besar J.P.Coen berhasil memajukan VOC. Karena gagasannya ingin membangun suatu pusat Perdagangan yang besar di Jayakarta, maka Pimpinan VOC (HEEREN XVII) tertarik dan kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal VOC.
Lukisan ini menggambarkan tiga
keputusan pengadilan yang sangat adil.
Pemetaan kota Batavia tahun 1740 dibuat oleh Johan Wolfgang Heydt (Jerman) yang bermukim di Batavia antara tahun 1738-1740. Gubernur Jenderal Valkenier menunjuknya sebagai juru gambar dan arsitek. Di peta tahun 1740 ini nampak kota Batavia dikelilingi 7 benteng kecil (pos penjagaan) Ancol dan Jacatra di sebelah timur, Noordwijk dan Rijswijk di sebelah selatan, Vijhoek, Angke, dan Buiten wacth (fluit) di sebelah barat. Jarak ke selatan dari pusat kota lebih kurang 4-5 km sedangkan jarak antara pos ancol (di sebelah timur) dengan angke (di sebelah barat) sekitar 8 km.
Dalam peta nampak bahwa lahan di luar tembok benteng, baik tepi barat maupun tepi timur sudah dihuni, sedangkan di sebelah selatan kota terlihat areal persawahan. Dari segi topografi, lahan sebelah selatan memang lebih tinggi dibanding sebelah barat atau timur, sehingga kondisi lahan seperti ini menjadi alasan mengapa pada masa kemudian perluasan dan pembangunan kota mengarah ke selatan, yaitu Weltevreden.
Pada masa itu juga nampak bahwa pusat kota
dihubungkan dengan benteng di luar kota melalui sejumlah kanal dan jalan. Dari
pusat kota ke arah timur terdapat jalan Barends (Barandsweg), kanal
Anthonie (Anthonievaart), kanal Ancol (Antjolvaart), kanal Sonter
(Sontharvaart), dan jalan Tuan (Heerenweg), ke arah
selatan melalui terusan Molen (Molenvliet),sedangkan ke arah barat
melalui terusan Mooker (Mookervaart), kanal Bacherachte (Bacherachtsgracht), dan
kanal Ammanus (Ammanusgracht).
5. Pembangunan Kota Masa Joan Maetsuyker (1653-1678)
Metsuyker membangun kota Batavia dengan memperluas areal kota ke luar benteng. Perubahan yang dilakukan antara lain membangun jembatan di atas kanal atau parit, terutama di kota depan (voostad),membangun benteng-benteng di luar kota untuk mengawasi daerah pertanian dan perkebunan tebu di sekitarnya. Tahun 1658 dibangun pos penjagaan Jakrta di sebelah Tenggara dan pos penjagaan Rijswijk di sebelah selatan yang berjarak sekitar 4-5 km dari pusat kota. Setahun kemudian dibangun (1657) dibangun pos penjagaan Noordwijk di sebelah timur Rijswijk untuk mengawasi ternak yang tersebar di lapangan Pavilyoen di sebelah selatannya. Tahun yang sama dibangun pula molen Penggergajian kayu di ujung Molenvliet yang ketika itu masih bernama kanal Bingham
Untuk mengendalikan banjir, saran lalu lintas menyalurkan hasil bumi dan hasil hutan dari hulu ke hilir, penggalian kanal-kanal luar kota berlanjut. Di kota depan digali kanal Crone (1663), dan kanal Speelman (1665), kanal Verburghs (1667), kanal Waynands dan kanal May. Parit atau kanal-kanal tersebut digali lurus sejajar jalan-jalan di kanan kirinya, saling berpotongan satu-sama lain sehingga membentuk blok-blok segiempat. Gubernur Jenderal Maetsuyker juga memusatkan perhatiannya pada pembangunan sekitar pelabuhan. Pelabuhan bebas (Vrijmanhaven) yang tadinya di dalam lingkunagn Boom (palang kayu atau pohon yang menutup mulut sungai) tahun 1667 dipindah ke luar Boom dengan mmperpanjang ujung saluran sampai ke sungai Ciliwung, tidak jauh di utara Boom Bersamaan dengan itu pula parit dekat Bastion Zeeburg dibendung dan saluran Vrijmanhaven diperpanjang ke barat sehingga terbentuk saluran kanal pelabuhan. Maetsuyker juga memerintahkan pembuatan jalan dari tepian laut menuju Maester Cornelis yang kemudian dirampungkan oleh penggantinya Rijkloff van Goens
6. Jakarta, Kota Tradisional sampai Kota Kolonial
Kota tradisional adalah kota-kota kuno pusat kerajaan-kerajaan islam yang belum dipengaruhi oleh budaya Eropa. Tata kotanya hampir sama, keraton ditempatkan di sebelah selatan alun-alun, di sebelah barat alun-alun terdapat mesjid, dan pasar di dekat keraton seperti halnya Pasar Paseban di Banten. Pola kota seperti ini meniru tata kota pusat kerajaan Majapahit sebagaimana direkonstruksi oleh Maclaine Pont berdasarkan kitab Negarakertagama. Penduduk kota bermukim dalam kluster-kluster yang terpisah.
Kota kolonial adalah kota-kota tipe Belanda yang berkembang abad ke 17-18 dan berpengaru pada banyak kota di Eropa. Rancangan kota Belanda saat itu mempunyai ciri khas, yaitu rayon-rayon kota dikelilingi oleh terusan (kanal) dan tembok keliling, sedangkan kanal-kanal dan jalan utama yang lebar seakan-akan merupakan tulang punggung kota.
7. Jan Pieterzoon Coen.
Jan Pieterzoon Coen (1587 -1629) adalah seorang Guberniur Jenderal masa VOC (Verenigde Oostindische Compagnie / Serikat Kompeni Hindia Timur) yang memerintah pada tahun 1618-1623 dan 1627-1629. Ia memulai karirnya dengan VOC pada tahun 1607 ketika ia masih berusia 20 tahun dan pada tahun 1612 menjadi Presiden Kantor Dagang di Banten dan Jayakarta (Jacatra). Sebagai seorang pemuda yang ambisinya sangat besar J.P.Coen berhasil memajukan VOC. Karena gagasannya ingin membangun suatu pusat Perdagangan yang besar di Jayakarta, maka Pimpinan VOC (HEEREN XVII) tertarik dan kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal VOC.
Pada masa kekuasaanya ia
menang perang dengan kota Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619, kemudian ia
mendirikan sebuah kota baru. Sebelumnya ia igin menamkan kota baru itu Nieuw
Hoorn untuk mengenang kota kelahirannya, akan tetapi De Heeren XVII
(Dewan XVII) memilih nama netral Batavia, untuk memberi penghargaan pada suku
Bataven, leluhur orang Belanda yang melawan kekuasaan Romawi pada abad 2
pertama masehi. Selama hidup J.P.Coen menolak memakai, ia masih menyebut kota
baru it dengan sebutan Fort Jacatra (Benteng Jakarta), Batvia diserang oleh
pasukan Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1628 dan 1629. Pada tanggal
20 setember 1629, J.P.Coen jatuh sakit dan meninggal dunia pada pukul 01.00
tanggal 21 September 1629. Pada tanggal 22 September 1629, ia dimakamkan di
Balaikota Batavia (Stadhuis), yang sekarang bernama Museum Sejarah
Jakarta, sebelum dipindahkan ke Hollandse Kerk (Gereja Belanda) tahun 1634, di
tempat yang sekarang berdiri Museum Wayang.
8. Penangkapan Pangeran
Wijayakrama
Sementara itu pada tanggal 31 Januari 1619 terjadi
perjanjian antara Inggris dengan Pangeran Jayakarta tentang benteng dan isinya.
Seteah terjadi perjanjian itu, usat benteng dengan paksa diambil alih oleh
Pangeran Jayakrta dan Inggris. Peti-peti dan dokumentasi Jan Pieterzoon Coen
dan orang-orang Belanda yang sedang pergi ke daerah Melayu dipecahkan, dirusak,
dan sebagainya.
Kejadian perebutan dan pengepungan Benteng oleh Inggris dan
Jayakrta itu terang tidak dikehendaki Banten. Karena Banten mulai mengancam
Inggris dan Pangeran Jayakrta. Admirisi Th Dala dari pimpinan orang-orang Inggris
sejak 1 Feruari 1619 merasa kurang mampu untuk menghadapi Banten. Syahbandar
Banten atas nama Sultannya mengerahkan tentara di sekitar benteng-benteng dan
muara Sungai Ciliwung itu. Dalam situasi yang tegang itu, Pangeran Jayakarta menyerahkan
tawanan-tawanan Belanda kepada Banten.
Situasi politik Banten terhadap Pangeran Jayakarta dan
Inggris itu sebaliknya bagi Belanda mendapat angin untuk bernafas,serta
mempersiapkan tenaganya yang baru dan sewaktu-waktu mereka bangkit
menghamtamnya.
Adanya perjanjian antara Inggris dan Pangeran Wijayakarma
dalam hal penyerahan benteng berarti memperbesar saingan Banten dengan Jayakarta
baik dari segi ekoomi maupun politik. Lebih-lebih kaean sejak masa-masa
sebelumnya sampai masa pangeran Wijayakarma, Jayakrta masih merupakan vazal
Baten, karena itu maka tindakan Pangeran Wijayakarma berarti penyelewengan
politis terhadap Banten.
Akibatnya pada waktu malam tanggal 15 Februari 1619,
Mangkubumi melalui Syahbandar dan Tumenggung Banten, mengambil pangeran Wijayakarma
dari pemerintahannya, kemudian bersama 50 pengawalnya dikirim ke “Tanahara”
untuk “menjalani hukuman”.
Menurut keterangan 3 orang utusan dari Tanara yang berusaha
membunuh J.P.Coen, bahwa pangeran Jayakrta dibawa terus oleh Sultan Banten
untuk ditempatkan di Tanahara, di tempat yang lebih baik. Diceritakan pula bahwa
rajanya amat baik terhadap Pangeran
Jayakarta itu.
9. Pangeran Sungarasa Jayawikarta / Wijayakrama Adipati Jayakarta III.
Putra dari Ratu Bagus Angke dengan Ratu Pembayun Fatimah
(putri Maulana Hasanudin, Sultan Banten 1). Diangkat menjadi Adipati Jayakarta sekitar 1600. Dapat disaksikan dari daftar
keturunan yang dibuat oleh Sultan Ageng Tirtayasa, yang diserahkan kepada
Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn tanggal 23 Juli 1709.


Ketika Jayakarta mengalami kekosongan pemimpin karena Pangeran Wijayakrama dipanggil ke Banten untuk menghadap Sultan, pada 15 Februari 1619, VOC datang menyerang dan membumihanguskan kota Jayakarta. J.P.Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.

Dikenal juga dengan
Pangeran Katengahan. Nama ini diberikan karena berhasil mendamaikan dan
menentramkan kekacauan perang saudara, antara keluarga sultan Banten. Perang
ini dikenal dengan nama perang Pailir pada tahun 1604.
Mimbar ini berasal dari mesjid kampung baru / mesjid bandengan
yang terletak di selatan Ammanusgracht,
sekarang Jl. Bandengan Selatan (simpang Jl. Pekojan 1). Mimar ni dibuat pada
pertengahan abad abad ke-18, dan seluruhnya dibuat dari kayu jati. Ukiran
mengikuti gaya VOC yang umum pada zaman itu. Pada tahun 1939 pengurus mesjid
menjual mimbar ke Batavia Genootschap (sekarang
museum nasional) dan dananya dipakai untuk memperbaiki mesjid tersebut. Karena banyak
kena rayap, mimbar direnovasi dan beberapa bagian diganti. Didalam mesjid
mimbar baru dibuat dari beton.
11. Mesjid-mesjid tua di daerah Pekojan
Dari dahulu daerah antara Jl. Pekojan Raya dan Jl. Bandengan oleh orang Moor, kata Portugis mengacu pada orang muslim dan India, yang kemudian diikuti oleh orang Arab dan orang China. “Moorsch Quartier” daerah orang Moor sudah disebut kota Batavia pada tahun 1633. Pada tahun 1648 orang Moor, yang juga disebut Kojah (pedagang) mesjid kecil sendiri di daerah Pekojan, yang bernama mesjid Al-Anshor (dekat Jl. Pegukiran II, tidak jauh dari Jl. Pejagalan).Mesjid Kampung Baru / Mesjid Bandengan adalah yang kedua dibangun daerah ini, antara tahun 1744 dan 1748. Sama dengan mesjid yang pertama, mesjid ini juga masih ada sekarang, walaupun bangunan seringkali dirubah dari masa ke masa. Mimbar dari mesjid ini ada yang di Museum, kemungkinan dibuat pada waktu yang sama yaitu pada sekitar tahun 1748.Mesjid yang ketiga dibangun pada sekitar tahun 1760, namanya Mesjid Annawir, yang dan sesudah diperbesar pada awal abad 19, mesjid ini sekarang yang paling besar di daerah pekojan, tidak jauh dari mesjid ini dibangun Langgar tinggi pada tahun 1833-1834.
Beidermeier selalu mengacu pada gaya kesenian dengan desain yang sederhana, yang bermanfaat, namun anggun. Bahan yang dipakai tidak mahal. Gaya ini berhubung dengan kemunculan kelas menengah yang tidak kaya di Eropa pada awal abad 19. Gaya berdiemeder berkontras dengan gaya romantis pada abad sebelumnya dan yang didominasi oleh orang elit. Ciri-ciri khas Berdiameder dalah garis bersih yang melengkung, hampir tanpa hiasan walaupun belakangan hiasan agak bertambah. Mebel-mebel Berdiameder yang terbaik dibuat pada pada tahun 1820 sampai 1830, tetap era berdiameder biasanya dihitung dari 1815 (berakhir perang-perang Napoleon) sampai 1814, tahun revolusioner di Eropa dengan perubahan politik.
13. Mebel-mebel abad ke 18
Kursi panjang yang penuh dengan hiasan motif subur daun dan bunga emas (prada). Pada pertengahan dari dua bagian atas sandaran belakang terdapat ukiran lambang bermotif bunga, di bawah mahkota dengan 11 mutiara. Diatas mahkota terlihat sepasang burung. Tiang sandaran belakang dengan ukiran gaya pilin dan ujungnya berbentuk pucuk bunga. Sandaran lengan diukir ada tiga sisi dan ujungnya berbentuk gulungan. Tempat duduknya dari anyaman rotan.
14.Lemari Buku Besar
Lemari yang sangat besar ini dibuat pada tahun 1748 untuk Dewan Pengadilan (Read van Justitie) yang mana semula berkantor dan kasteel Batavia (benteng Batavia) dan kemudian pindah ke ruang ini.
Pada rapat tanggal 23 Maret 1747,
Dewan membicarakan keadaan mereka yang tidak memiliki tempat untuk arsip dan
perpustakaan. Kemudian pada rapat tanggal 1 Juni 1747 mereka memutuskan untuk
memesan lemari buku baru. Lemari buku tersebut selesai awal tahun 1748.
Karena nilai sejarahnya, pada
tahu 1871, lemari buku ini diserahkan kepada Bataviaasch Genootschap (Lembaga Kebudayaan Indonesia) di dalam
gedung mereka yang baru selesai di Medan Merdeka, sekarang Museum Nasional. Sejak
tahun 1970-an lemari buku ini termasuk koleksi Museum Sejarah Jakarta.
Lemari buku ini ukiran kayunya disepuh
emas atau prada. Pada bagian atas, sisi sebelah kiri terdapat Patung Dewi
Keadilan, dahulu tangan kanan membawa pedang keadilan dan tangan kiri membawa
timbangan. Pada sisi sebelah kanan merupakan Patung Dewi Kebenaran, dahulu
tangan kanan membawa cermin dan tangan kiri mencekik seekor ular. Di antara dua
ukiran tersebut, terdapat ukiran yang menggambarkan empat belas tambang
keluarga dari anggota Dewan Pengadilan, termasuk pada bagian puncak lambang
keluarga President, Mr. Reinier Stapel.
15. Penyekat Ruangan.
Gaya : Baroque
Tahun pembuatan : Abad 18
Bahan dan warna : kayu dicat merah dan prad (lapisan prada/emas)
Ukuran : tinggi 289 cm, lebar 232 cm
Penyekat ruangan ini diukir dengan indah dan pernah digunakan dalam ruang sidang Dewan Hindia di Benteng (Kasteel) Batavia. Pada bagian atas, d bawah mahkota terdapat enam lambang kota yang membentuk VOC, pada bagian tengahnya terdapat lambang kota Batavia (pedang dengan ujungnya menembuslingkaran daun salam).Figur pada bagian tengah menggambarkan seorang pria muda memakai baju zirah, kakinya agak pendek. Dia membawa perisai dengan hiasan Kepala Medusa yang jelek dan berambut ular setelah ia dikutuk oleh Pallas Athena, Dewi Kebijaksanaan dan Kesenian. Menurut mitos Yunani, Pallas Athena adalah putri Dewa Zeuz, lahir dengan memakai baju Zirah.
16. Lukisan Tiga Putusan Pengadilan
Pelukis : J.J. De Nijs
Material : cat minyak di atas kayu jati
Periode : diperikirakan awal abad 18
Lukisan ini menggambarkan tiga
keputusan pengadilan yang sangat adil.
·Kiri : Raja Persia, Cambyses (abad 5 SM)
sedang memerintahkan supaya hakim yang korup Sisamnes dikuliti. Kemudian putra
Sisamnes diangkat menggantikan ayahnya. Kulit ayahnya dipakai untuk melapisi
kursi hakim, peringatan keras terhadap hakim-hakim yang disuap.
·Tengah : Raja Solomon mengambil keputusan
bijaksana mengenai seorang bayi yang diperebutkan oleh dua orang wanita, yang
masing-masing menyatakan sebagai ibu kandungnya.
·Kanan : Raja sekaligus penyusun
Undang-Undang, Zaleukos ari Lakri (Yunani abad ke 7 SM) siap mengorbankan salah
satu matanya untuk mengindahkan hukum yang diundang-undangkannya sendiri. Dengan
demikian Raja mau menyelamatkan salah satu putranya, yang sesungguhnya harus
ditusuk matanya, karena melanggar hukum yang melarang berzinah.
17. Ruang Rapat para Dewan
18. Pedang Pelaut dan Tombak
19. Pedang Keadilan untuk Eksekusi
20. Senapan Guntur